Menggali Makna Kabar Gembira: Refleksi dan Iktibar dari Kajian Tafsir munir Surat Al-Baqarah Ayat 25

 


Menggali Makna Kabar Gembira: Refleksi dan Iktibar dari Kajian Tafsir munir Surat Al-Baqarah Ayat 25

 Merujuk pada berbagai kitab tafsir klasik dan kontemporer, Ruang Diroyah kembali mengupas makna yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 25 bersama Ahmad Prawoto yang membaca Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab , dan M. Sholihin mengulik Tafsir Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantani dan tafsir klasik lainnya.  Para pembicara mencoba menelusuri pesan di balik "kabar gembira" yang dijanjikan Allah SWT bagi mereka yang beriman dan beramal saleh pada ayat ini.

Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa penempatan ayat ini merupakan bagian dari uslub atau gaya bahasa khas Al-Qur'an yang sering menyandingkan dua hal yang bertentangan untuk menciptakan harmoni makna tersendiri. Hal tersebut menjadi adat tersendiri bagi ke khasan Al-Qur’an. Setelah ayat 24 menguraikan ancaman dan siksa neraka bagi kaum kafir, ayat 25 hadir sebagai penyeimbangnya, menyajikan janji dan ganjaran bagi kaum beriman. Perintah "sampaikanlah berita gembira" (wabasyir) ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menguatkan hati mereka yang beriman secara tulus dan membuktikan keimanannya melalui amal saleh. Dibalik konsistensi susunan tersebut ada makna dan menjadi Pelajaran untuk mengkontruksi cara berpikir kita yang mau “angen-angen” memahami makna secara mendalam dalam semua aspek kehidupan.

Amal saleh, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tersebut, adalah segala hasil penggunaan daya manusia—baik daya tubuh, daya pikir, maupun daya kalbu—yang dilandasi oleh iman dan mendatangkan manfaat. Ganjaran bagi mereka adalah surga, yang digambarkan sebagai taman-taman indah yang dialiri sungai-sungai.

Salah satu deskripsi menarik pada tafsir tersebut adalah tentang buah-buahan surga. Ketika dihidangkan, para penghuninya mengenali buah tersebut dan berkata, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Menurut Pak Quraisy, ini bukanlah buah yang sama, melainkan "serupa". Keserupaan dalam nama, bentuk, dan warna ini berfungsi sebagai jembatan pengetahuan agar manusia di dunia dapat membayangkan kenikmatan tersebut, meskipun hakikat rasa dan kualitasnya jauh melampaui apa pun yang pernah dikenal. Perhatikanlah binatang, tumbuh-tumbuhan bahkan pasir-pasir yang terhampar di bumi. Mereka serupa tetapi tidak sama.

Selain itu, diceritakan tentang surga dihuni oleh pasangan-pasangan yang disucikan secara lahir dan batin, bebas dari segala kotoran fisik maupun sifat tercela, dan puncaknya adalah kenikmatan yang kekal abadi.

Perumpamaan-perempamaan tersebut bermaksud untuk menampilkan sesuatu yang konkret untuk memperjelas yang abstrak. Surga dan kenikmatannya adalah sesuatu yang abstrak, maka melalui wahyuwahyu-Nya, Allah bermaksud menjelaskan petunjuk-petunjuk-Nya kepada manusia.

Pembahasan kemudian beralih ke Tafsir Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Pada tafsir tersebut menjelaskan bahwa perintah wabasyir bisa ditujukan secara khusus kepada Rasulullah, namun juga bisa dipahami secara umum bagi siapa saja yang mampu menyampaikan kabar gembira. Beliau mengutip sebuah hadis sebagai contoh: "Berilah kabar gembira kepada orang yang berjalan ke masjid dalam kegelapan dengan cahaya yang sempurna di hari kiamat." Tafsir Munir juga memberikan gambaran bahwa sungai-sungai surga mengalir di bawah tempat tinggal dan pepohonan, terdiri dari khamar, susu, madu, dan air yang mengalir tanpa batas.

Melengkapai wacana diatas kemudian dilakukan analisis lintas tafsir yang kaya. Analisis makna kemudian ditujukan untuk menyoroti apa yang disampaikan para mufasir besar seperti Imam Az-Zamakhsyari (Al-Kasyaf), Imam Al-Qurtubi, dan Imam Ar-Razi (Mafatihul Ghaib) sama-sama mencatat kebiasaan Al-Qur'an dalam menyusulkan penyebutan janji baik (surga) setelah ancaman (neraka). Pola ini, menurut M. Sholihin menawarkan sebuah iktibar atau pelajaran mendalam bagi kehidupan sosial manusia. Kita diajak untuk lebih peka dalam melihat dengan siapa kita berbagi dalam suka dan duka. Terkadang, ada orang yang hadir hanya saat kita susah, namun menghilang saat kita bahagia. Dengan memahami uslub Al-Qur'an ini, seseorang dapat lebih bijak dalam menempatkan diri dan bersikap secara profesional dalam hubungan.

Pelajaran ini kemudian didalami melalui contoh-contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari relasi pertemanan, prioritas dalam rumah tangga, hingga menghadapi tekanan sosial. Salah satu pilihan dalam merespon keadaan trersebut adalah memahami bahwa hubungan manusia dengan manusia itu harus direspon dengan menggunakan ilmu sosial. Kalau menggunakan ilmu teologi, beberapa peristiwa yang terjadi justru memunculkan konflik yang berkepanjangan karena mereka menggunakan keyakinannya. Peristiwa di luar nilai-nilai kemanusiaan itu biasanya dimulai dari dorongan ideologi. Kalau kita tidak mampu menyaring dan memposisikan hal tersebut maka akan menimbulkan kekerasan-kekerasan. Kekerasan itu bisa kepada diri kita sendiri, membuat kita tidak nyaman, gelisah dan juga bisa menjadikan kekerasan pada orang lain. Maka menggunakan ilmu sosial akan lebih sesuai.

Ilmu sosial itu tidak ada pakem, mengalir, tetapi tetap mawas diri. Yang penting maknanya sampai. Kita memaafkan, welas asih. Pilihannya adalah fleksibel sesuai kontek maslahahnya bagaimana. Pada dasarnya sikap fleksibel tersebut tidak menjadikan kita simbol “neraka”. Karena hidup yang kita jalani memadukan antara kebenaran dan rasa. Seringkali, simbol kebahagiaan seseorang berubah seiring statusnya. Ketika sudah menikah, misalnya, prioritas kebahagiaan semestinya bergeser kepada pasangan, bukan lagi terpusat pada orang tua dengan dalih birrul walidain yang kurang tepat konteksnya. Kegagalan memahami prioritas ini seringkali menjadi sumber kegelisahan. Dengan demikian, mengenali makna "simbol surga" (sumber ketenangan) dan "simbol neraka" (sumber kegelisahan) dalam hidup menjadi sebuah kecakapan spiritual yang penting kita terus latih.

Pembahasan berlanjut pada makna kata ash-shalihat. Penggunaan artikel al- di depannya dipahami sebagai lil jinsi, yang berarti perbuatan baik yang dimaksud bisa mencakup sebagian ataupun seluruh jenis kebaikan. Seseorang tidak dituntut untuk melakukan semua amal saleh yang ada, melainkan melakukan kebaikan sesuai dengan kemampuan dan kesempatannya. Syekh Thahir Ibnu Asyur lebih jauh menjelaskan bahwa al- di sini juga bersifat istighraqi 'urfi, artinya amal saleh juga harus mempertimbangkan kepatutan adat ('urf) dan kebiasaan yang berlaku, selama tidak bertentangan dengan syariat. Dicintohkan ketika kita menjadi imam, disana ada banyak jamaah dan orang penting. Ketika kita jadi imam dan hanya menggunakan sarung saja, walaupun secara sarat rukun sudah menutup aurot, tetapi secara adat hal tersebut tidak patut, maka Hindari.

Puncak dari pembahasan ini adalah pemaparan tentang empat sifat esensial surga yang dirangkum dari kitab Mafatihul Ghaib, yang dapat menjadi cerminan atau tutorial bagi tercapainya "surga duniawi" ada Empat pilar kebahagiaan diantaranya:

  1. Tempat tinggal yang nyaman (al-maskan), yang memberikan rasa aman dan tenteram.
  2. Sumber rezeki, makanan atau pekerjaan (al-math'am), yang menjamin keberlangsungan hidup.
  3. Pasangan atau keluarga yang harmonis (al-azwaj), sebagai sumber dukungan sosial dan emosional.
  4. Perasaan Nyaman, terhindar dari rasa khawatir (al-khulud), yaitu perasaan aman dan tidak cemas akan masa depan.

Ketika keempat unsur ini terpenuhi, maka simbol-simbol surga yang akan menghadirkan kebahagiaan akan muncul dalam kehidupan kita. Dari berbagai peristiwa yang tejadi di sekeliling kita, sesuatu mengganggu tercapainya kondisi “symbol” atau rasa bahagia adalah poin keempat: kekhawatiran berlebih terhadap hal-hal yang belum terjadi dan berada di luar kendali kita. Hal tersebut seringkali dipicu oleh lingkungan, vibrasi negatif, pikiran yang tak logis, kemelekatan pada sesuatu atau menginginkan sesuatu yang melampau kapasitas dan kondisi. Maka kita butuh mempertebal dan memperbanyak imunitas dengan ilmu dan nalar yang sehat.

Pada penutup, kajian tersebut menyimpulkan bahwa iman adalah syarat mutlak untuk memasuki surga. Sementara itu, amal saleh berfungsi sebagai penentu tingkatan dan kualitas surga yang akan diperoleh. Bahwa menjadi orang beriman tidak cukup hanya dengan keyakinan, tetapi harus dibuktikan dengan amal saleh, sebuah tindakan nyata yang memberikan kemanfaatan, yang pada akhirnya akan kembali dalam wujud kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.


Oleh: Ahmad Prawoto[1] dan M. Sholihin[2]

Divisi Dakwah PC. ISNU Bojonegoro – Pengasuh Ruang Diroyah Indonesia



[1] Mahasiswa pasca sarjana UNESA Surabaya

[2] Dosen IAIBAFA Tambak Beras Jombang


ISNU BOJONEGORO

ISNU adalah Sebagai wadah sarjana NU, keanggotaan ISNU meliputi seluruh sarjana NU atau orang yang dianggap berjasa kepada NU. Kepengurusan ISNU berada di tingkat Pusat, Wilayah, Cabang/ Cabang Istimewa, dan Wakil Cabang.

Lebih baru Lebih lama