KAJIAN KRISIS EKOLOGI

 

(foto istimewa)

Di tengah pusaran isu krisis lingkungan yang kian mengkhawatirkan, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia menunjukkan respons sigap dan mendalam. Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kabupaten Bojonegoro menjadi garda terdepan dalam menyikapi tantangan ini. Mereka menjadikan isu lingkungan sebagai agenda penting dalam forum-forum pemikiran, merespons kegelisahan akan bencana alam dan perubahan iklim yang mulai terasa dampaknya di tingkat lokal.

Salah satu perhatian utama ISNU Bojonegoro tertuju pada fenomena peningkatan suhu udara yang signifikan di wilayah mereka. Mas Budi, seorang penggerak perkebunan kopi dataran rendah dan pengurus harian ISNU, mengungkapkan dalam sebuah seminar rutin bahwa antara tahun 2011 hingga 2018, suhu udara di Bojonegoro melonjak drastis, mencapai puncaknya di angka 39-40 derajat Celsius. Kurangnya ruang hijau disinyalir menjadi salah satu penyebab utama kondisi tersebut.

Menyikapi realitas ini, Ketua ISNU Bojonegoro, Dr. Yoggi Prana Izza, dalam sambutannya kala itu, mendorong agar ISNU tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga aktor aktif dalam melakukan kajian ekologi berbasis perspektif ajaran Islam. Harapannya, kajian ini akan melahirkan karya-karya ilmiah yang relevan dan memberikan solusi konstruktif terhadap permasalahan lingkungan di Bojonegoro.

Gayung bersambut, pengurus ISNU Bojonegoro menginisiasi serangkaian kajian mendalam yang menghubungkan isu krisis lingkungan lokal dengan khazanah ilmu keislaman. Selama hampir satu tahun, berbagai tema krusial seperti krisis sumber air yang semakin menipis, kualitas udara yang menurun, serta relasi antara industrialisasi dan tingkat kebahagiaan masyarakat Bojonegoro menjadi fokus diskusi.

Upaya kajian ini kemudian diperkaya dengan telaah terhadap kitab-kitab klasik yang membahas isu lingkungan dari sudut pandang Islam. Sebuah forum kajian rutin setiap Jumat awal bulan digagas oleh bagian dakwah ISNU Bojonegoro, yang diampu oleh Pak Prawoto dan Sholihin. Kitab "Al Biah wa Khifad Alaiha fi Mandur Islam" karya Syekh Ali Jum'ah menjadi rujukan utama dalam diskusi-diskusi tersebut.

Dalam pandangan Syekh Ali Jum'ah yang diulas dalam kajian, hubungan antara manusia dan alam tidak boleh direduksi hanya sebatas eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Beliau menekankan bahwa alam memiliki kedudukan yang setara dengan manusia, mengingat salah satu tugas utama manusia adalah menjadi khalifah di muka bumi, yaitu pengemban tanggung jawab atas kelestarian kehidupan. Lebih lanjut, Syekh Ali Jum'ah menjelaskan bahwa selain diperbolehkan memanfaatkan hasil alam, manusia juga memiliki kewajiban imaratul ard, yaitu membangun peradaban yang seimbang dan memastikan keberlanjutan manfaat alam bagi generasi mendatang. Interaksi dengan alam semesta harus didasari pada pemahaman bahwa alam juga merupakan makhluk yang dapat merasakan "sakit". Menurut ajaran Islam, relasi manusia dengan alam tidak hanya sebatas menjaganya, tetapi juga mengembangkan dan memperbaikinya. Menjelajahi rahasia alam dipandang sebagai bagian dari upaya memahami eksistensi Allah, yang pada akhirnya akan menumbuhkan rasa mahabah (cinta) kepada-Nya.

Dari serangkaian diskusi yang konstruktif, beberapa langkah strategis disimpulkan untuk meningkatkan kesadaran akan krisis lingkungan. Pertama, perlunya mempopulerkan teks-teks ajaran Islam yang menekankan kepedulian terhadap lingkungan di kalangan umat Islam, khususnya. Kedua, implementasi aksi nyata menjadi krusial. Inisiatif pengurus ISNU Bojonegoro yang mengganti karangan bunga ucapan selamat dengan penanaman pohon menjadi contoh inspiratif. Gagasan untuk menyemai biji buah sebagai suguhan dalam acara-acara seperti tahlilan juga mengemuka sebagai gerakan budaya yang berpotensi menumbuhkan kesadaran lingkungan sekaligus menjadi sedekah jariyah berupa oksigen dan manfaat pohon di masa depan. Ketiga, mengaitkan isu keagamaan dengan tema krisis lingkungan dianggap penting. Contohnya, merujuk pada larangan kencing di air yang tidak mengalir dalam kitab fikih klasik Fathul Qarib, yang diperluas maknanya menjadi larangan segala bentuk pencemaran air, baik oleh limbah domestik, industri, maupun sampah. Dengan demikian, kualitas air bersih dan udara segar dipandang sebagai bagian integral dari ajaran Islam.

Diskusi-diskusi berharga ini diakhiri dengan mengkaji Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 86 Tahun 2023 tentang Perubahan Iklim, yang semakin menegaskan pentingnya kesadaran umat Islam dalam menjaga kelestarian alam. Upaya ISNU Bojonegoro ini menjadi oase harapan, menunjukkan bahwa nilai-nilai agama dapat menjadi landasan moral dan etika yang kuat dalam mengatasi krisis lingkungan yang mendera.

M. Sholihin dan Pak Prawoto Penulis adalah Pengurus ISNU Cabang Bojonegoro, Divisi Dakwah ISNU Bojonegoro.

 


 

 

 

 

ISNU BOJONEGORO

ISNU adalah Sebagai wadah sarjana NU, keanggotaan ISNU meliputi seluruh sarjana NU atau orang yang dianggap berjasa kepada NU. Kepengurusan ISNU berada di tingkat Pusat, Wilayah, Cabang/ Cabang Istimewa, dan Wakil Cabang.

Lebih baru Lebih lama